Kamis, 30 Nov 2006
Pentaskan Wayang di Siang Bolong, Biaya Iuran Satu RT
Warga Desa Bandungan, Kecamatan Slahung, Ponorogo, menggelar ritual unik meminta hujan di tengah kemarau panjang. Kesenian wayang kulit dan tari gambyong sengaja dipentaskan di dua tempat keramat (punden) dusun setempat. Apa saja pernik-perniknya?
HADI WINARSO, Ponorogo
KELIR putih dibeber hanya setinggi kepala. Deretan wayang tertancap di kayon debok, saling berhadap-hadapan mengapit gunungan berhiaskan blencong. Dalang tua, dua waranggana dan 14 nayaga bermain lepas di bawah tiga tenda yang didirikan. Kendati tempat pementasan wayang kulit itu persis berada di rerimbunan tiga pohon berukuran super-besar. Mereka tampaknya khawatir hujan tiba-tiba turun.
Lakon "Udan Amitoya" pun dimainkan utuh. Ki Sarjono memulainya dengan suluk berulang-ulang lalu tokoh-tokoh wayang diangkat ke kelir bergantian. Tak ketinggalan, limbukan dan goro-goro yang sering bikin geerrr. Pentas wayang itu dimulai pukul 09.00 dan baru berakhir menjelang petang. "Biasanya hujan terus turun jam tiga sore," yakin Paimin, juru kunci punden Sri Wangi.
Mendung memang sempat berarak berselingan dengan terik matahari yang terang redup. Sebelum pentas wayang dihelat, warga Bandungan mendahuluinya dengan selamatan dilengkapi uba rampe-nya. Mulai nasi gurih, sega golong, apem berikut ingkung (daging ayam utuh). Prosesi serupa paginya juga dilakukan di punden Sringin. Bedanya, "penunggu" tempat itu lebih gemar tari gambyong. "Semua biaya ditanggung iuran 18 RT yang ada di dusun sini," ungkap Setyorini, kepala dusun Bandungan.
Lelaki-perempuan, tua-muda dan anak-anak pun berduyun-duyun menonton pentas wayang kulit di siang bolong itu. Mereka tak harus menahan kantuk. Gelas-gelas kopi dan teh juga terus-terusan mengalir. Warga Bandungan yang mayoritas petani pantas gerah lantaran air hujan tak kunjung mengguyur dusunnya.
Padahal, dusun-dusun di sekitarnya sudah sempat dibasahi air dari langit itu. Meski sadar tak sepenuhnya percaya tahayul, nenek moyang dulu rajin menggelar upacara ritual di dua tempat berbeda bersamaan kemarau meranggas. "Ini menyangkut budaya dan adat-istiadat. Tak kurang dan tak lebih," tegas Misranto, anggota DPRD Ponorogo yang berdomisili di desa setempat.
Punden Sri Wangi terletak persis di bibir sungai. Tempat itu dulunya sebuah kolam lengkap dengan mata airnya. Lokasinya rimbun lantaran tiga pohon trembesi dibiarkan tumbuh besar. Kolam telah lama mengering, warga sempat mendirikan lapangan bulu tangkis di situ. "Kalau wayangan di sini, gambyongan di Sringin," tegas juru kunci Paimin saat ditanya asal-muasal kebiasaan menggelar kesenian yang lumrah dimainkan malam hari itu.
Sebagian warga menolak bila pagelaran wayangnya disebut ruwatan. Sebab, wayang ruwatan hanya melakonkan drama sebabak. Wayang kulit dengan dalang Ki Sarjono harus main sesiang suntuk. Lakonnya pun dipilih khusus yang menyangkut hujan. Dalang sepuh yang mantan guru itu pun bermain layaknya di pentas hajatan. "Dia dalang paling tua yang masih aktif," ungkap seorang sesepuh desa sembari menyebut umur Ki Sarjono sudah kepala delapan.
Turunnya hujan belakangan ini seakan sengaja terus meledek. Langit kerap mendung namun terus menghilang tanpa disusul guyuran air. Datangnya musim hujan bak jinak-jinak merpati itu ditangkap warga Bandungan sebagai sesuatu yang harus disambut. Mereka menyongsongnya dengan tetabuhan dan tarian. Air cucuran hujan diharapkan segera turun meliuk-liuk seperti penari gambyong atau gerakan indah wayang di tangan ki dalang. ***
Kamis, November 30, 2006
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar