Sabtu, 30 Des 2006.
Sebelumnya Dikenal Periang, Sering Jawab Tidak Tahu Kasus Muhammad Jefri, siswa kelas IV SDN 1 Desa Bajang, Kecamatan Mlarak, Kabupaten Ponorogo yang dicukur ramai-ramai oleh teman sekelas atas perintah oknum gurunya, dipandang kebablasan. Pemerhati anak-anak dan perempuan, termasuk ahli psikolog menilai, kondisi Jefri mengalami neorotik atau depresi berat. Benarkah cara tersebut dipandang sebagai bentuk pendidikan terhadap anak?
BUDI SEYAWAN, Ponorogo
RUMAH yang menghadap ke selatan di barat perempatan Desa Bajang, Kecamatan Mlarak, siang itu, terlihat sepi. Sebuah huller keliling parkir di depan rumah tanpa ada aktivitas. Begitu menginjakkan kaki di teras rumah, beberapa kali diketok tidak ada yang membukkan pintu.
Selang beberapa saat, seorang tetangga muncul sambil mengendong anaknya menyapa kedatangan koran ini. "Cari siapa Mas," katanya penuh keramahan ala pedesaan. Setelah mengutarakan maksud kedatangan untuk menemui Mochammad Jefri yang menjadi korban arogansi oknum guru kelas, tak beberapa lama nama yang dimaksud muncul. Masih mengenakan pakaian seragam merah putih, dia langsung duduk di kursi untuk menerima kedatangan koran ini. Saat itu, wajah Jefri tampak pucat ketakutan. Matanya terlihat merah serta di kepalanya masih terlihat bekas bekas hukuman cukur yang dijatuhkan sang guru dan sejumlah teman sekelasnya.
Didampingi beberapa anggota Komite Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA) dan Forum Lintas Pelaku (FLP) serta psikolog dari RSUD dr Harjono, rombongan juga disambut seorang perempuan yang memasuki usia senja bernama Sumi. Dengan tergopoh gopoh nenek Jefri tersebut langsung memberikan sambutan dengan mengulurkan tangannya yang terlihat keriput dan gemetar sembari mempersilahkan duduk diteras rumahnya serta mempertanyakan kedatangan kami, "Wonten perlu menapa (ada keperluan apa, red)?" ujar Sumi pelan.
Jefri, anak bungsu pasangan Purnomo-Sunarsih menjadi perhatian sejumlah elemen masyarakat setelah hasil pemeriksaan psikolog, ia diduga menderita depresi. Itu dialami setelah dia dicukur ramai-ramai temannya atas perintah guru berinisial DA lantaran ketahuan main biliar kendati di luar jam pelajaran. Padahal, kesalahan yang dilakukan Jefri, dinilai masih wajar. Selayaknya dilakukan anak seusianya karena terdorong rasa keingintahuan hal yang baru dan perkembangan paradigma masyarakat.
Psikolog RSUD Dr Harjono, Rahmadi Sularsoni, setengah berbasa-basi dan menanyakan pola makan sehari-hari untuk menghibur Jefri. Dari jawaban bocah yang sebelumnya dikenal periang itu jelas terlihat masih mengalami trauma berat pasca-hukuman tersebut. Tak jarang, seluruh pertanyaan yang dilontarkan rombongan dijawab dengan kalimat ’tidak tahu’. "Hal ini membuktikan bahwa Jefri mengalami gangguan neorotik. Jika dibiarkan akan berdampak buruk pada kondisi kejiwaanya," jelas dokter Soni, panggilan akrab Rahmadi.Usaha untuk melontarkan pertanyaan kepada Jefri akhirnya kandas. Ini setelah bocah 11 tahun yang kini berubah murung dan menutup diri itu, Jefri langsung beranjak pergi. Ketika dibujuk untuk menemui lagi, dia terlihat enggan. "Biarkan saja, jangan dipaksakan," jelasnya.
Menurut Soni, perlu ada langkah persuasif untuk mengembalikan perkembangan mentalnya. "Minimal, bagaimana dia tidak takut lagi menghadapi perempuan sebaya gurunya atau juga teman-temannya," ungkapnya.Sementara, menurut Indri, aktivis dari KPPA Ponorogo, mengatakan apupun alasannya menghukum siswa bahkan memerintahkan murid lain untuk "menggunduli" rambut jelas dinilai salah dan sangat tidak mendidik. "Selain itu, model hukuman semacam ini juga bisa berdampak buruk pada perkembangan kejiwaan sang anak yang dihukum serta anak-anak lainnya," tegas Indri. Mestinya, guru harus bisa memberikan sanksi dalam bentuk peringatan. Bukan malah "mencederai" mental anak yang dipandang masih belum tegar ketika menghadapi permasalahan. Apalagi, jika merasa bersalah di hadapan teman-temannya. "Kalau teman-temannya ikut menghukum, itu dirasakan ada kesalahan yang berlipat-lipat atas perilaku yang dilakukan," ungkapnya. Dia berharap agar kasus ini bisa menjadi pelajaran para tenaga pendidik lain agar tidak sembarangan menerapkan hukuman yang bisa membahayakan mental anak didik. ***
Rabu, Januari 03, 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar