Rabu, Mei 23, 2007
Cerita Tentang Reog v.3 ( Warok )
Walaupun kisah asal-usul reog pada umumnya tidak menyinggung soal warok, termasuk dalam kisah Kelana Sewandana yang dipilih sebagai dasar penyusunan format pementasan, tim perumus menetapkan keberadaan peran warok dalam pertunjukan reog. Memang benar, masyarakat Ponorogo mengenali adanya kaitan antara reog dan warok. Namun, kaitan tersebut umumnya dipahami sebagai hubungan antara kesenian dan penggemar fanatik atau patronnya. Lain tidak.
Dimasukkannya warok ke dalam struktur pertunjukan reog bisa dipahami sebagai upaya pemerintah setempat menampilkan warok sebagai ciri lain masyarakat setempat. Tapi, dalam hal ini pun terjadi proses seleksi mengenai citra warok seperti apa yang hendak ditampilkan.
Ada perbedaan signifikan antara persepsi masyarakat luas mengenai warok dan gambaran yang ditampilkan pemerintah kabupaten.
Bagi orang kebanyakan di Ponorogo, warok merupakan istilah kategoris yang disandangkan pada orang dengan kualifikasi tertentu, terutama kualifikasi fisik berupa kesaktian atau kekebalan. Mereka mengenakan sebutan warok pada seseorang dengan mempertimbangkan: Apakah dia pernah membunuh seseorang? Apakah dia mempan dibacok? dan sebagainya. Karena warok adalah gelar yang disandangkan masyarakat luas pada seseorang, maka pada dasarnya status kewarokan tidak bisa diklaim oleh diri sendiri, tak satu pun orang di Ponorogo yang menyatakan diri sebagai warok.
Gambaran yang ada di kalangan warga setempat ini berbeda dengan gambaran warok yang dipromosikan pemerintah setempat, yakni orang yang mumpuni dalam olah batin – tidak adigang, adigung, adiguna. Gambaran semcam ini tentu jauh berbeda dengan angan-angan masyarakat luas mengenai ciri-ciri fisik warok.
Mengikuti jalan pikir pemerintah setempat, besar kemungkinan seorang warok tidak berpawakan tinggi, besar, berwajah seram dengan kumis melintang seperti ditengarai orang Ponorogo pada umumnya; melainkan orang yang kurus ceking lantaran sering berpuasa menjauhkan diri dari hawa nafsu duniawi. Anehnya, buku Pedoman Dasar terbitan pemerintah tetap menggunakan gambaran warok versi masyarakat luas sebagai acuan dasar penuangan artistik, sebagaimana tampak dalam hal kostum (telanjang dada, atau kemeja terbuka), rias (kumis dan jenggot palsu, bulu dada, olesan pemerah di pipi, penebalan alis), maupun dalam tata gerak (adegan perkelahian dan latihan bela diri).
Kiranya tidak sukar dipahami bahwa ditetapkannya warok sebagai salah satu jenis peran yang muncul dalam pertunjukan Reyog Ponorogo mengundang berbagai tentangan. Mereka yang mempersoalkan kemunculan warok sebagai salah satu peran pertunjukan reyog kebanyakan mengacu pada kisah asal-usul Reyog Ponorogo dan menegaskan bahwa tak ada satu pun kisah-kisah tersebut yang menyebut warok sebagai salah satu tokoh sejak mula-jadi. Memang benar, dalam masyarakat Ponorogo beredar kisah-kisah heroik tentang kehebatan beberapa orang warok di masa lalu, bahkan salah satu kisah yang sangat populer sering diceritakan kembali dalam kesenian ketoprak. Sebagai contoh, tokoh warok legendaris yang bernama
Warok Suramenggala diyakini sebagai salah satu anak Suryangalam, yang sepeninggal ayahnya bermusuhan dengan kakak kandungnya, yaitu Warok Gunaseca. Namun kebanyakan orang Ponorogo berpendapat bahwa sumber dan periode yang dirujuk oleh kisah asal-usul reyog Ponorogo terpisah dari cerita dan periode kemunculan fenomena warok. Mereka menganggap cerita tentang Suramenggala berbeda satu generasi dengan cerita asal-usul reyog versi Batara Katong, sehingga penggabungan kedua cerita itu dengan menampilkan peran warok dirasa mengacaukan orientasi waktu yang dilukiskan pertunjukan reyog Ponorogo. Lagi pula, pada umumnya pertunjukan reyog di desa-desa memang tidak menampilkan warok sebagai salah satu peran pertunjukan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Pencitraan diri terhadap warok memang terbawa oleh sejarah yang amat panjang, sehingga mengkristal menjadi sebuah nilai. Saya setuju bahwa CITRA WAROK tidak semata terbentuk tetapi bisa dibentuk. Saya sependapat bahwa citra warok hendaklah dikembalikan kepada nilai filofofi yang adiluhung. segagaimana budaya dapat dicitrakan dari assosiasi filsafat dan dunia kasunyatan. Warok sebagaimana etimologi aslinya berarti " orang yang dapat menjagadiri dari perbuatan dosa, namun tidak melarikan diri dari memberantas dosa" pencitraan kembali Warok agar selalu up to date dengan perkembangan nilai zaman memang perlu ... DALAM SETIAP DIRI WONG PONOROFGO selalu mengalir darah warok ....
terimakasih mas Hafid atas kunjungannya
Posting Komentar