Jumat, Maret 02, 2007

WNI 18 Tahun ke Atas Wajib Latihan Militer

Belum jaid undang undang, masih tahap penyusunan...
tapi kalo memang dibutuhkan siap aja nih bela negara, tapi dengan penduduk sebanyak ini apa nggak boros borosin anggaran negara ya...
lagian kan di Indonesia banyak jawara, paranormal, kan mereka mengklaim kebla senjata, punya pasukan jin dllll................ nah mending yang kayak gini aja yang diberdayakan, wajib ikut latihan militer .


SUARA PEMBARUAN DAILY
WNI 18 Tahun ke Atas Wajib Latihan Militer

Latar belakang Dephan menyusun naskah RUU Komponen
Cadangan berdasarkan amanat UU No 3 Tahun 2002
tentang Pertahanan Negara, yang antara lain
menyatakan, dalam menghadapi ancaman ditempatkan TNI
sebagai komponen utama, selanjutnya komponen
cadangan dan pendukung. (Sekretaris Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan Departemen Pertahanan (Dephan), Laksamana Pertama Fadjar Sampurno)

[JAKARTA] Semua Warga Negara Indonesia (WNI) yang berumur 18 tahun ke atas dan sudah mempunyai pekerjaan tetap, wajib mengikuti latihan militer.
Sedangkan WNI 18 tahun ke atas tapi belum mempunyai pekerjaan tetap, apalagi belum bekerja, tidak diwajibkan ikut.



Demikian sebagian inti naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komponen Cadangan yang disampaikan Sekretaris Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan Departemen Pertahanan (Dephan) Laksamana Pertama Fadjar Sampurno kepada Pembaruan, Selasa (27/2), di Jakarta.

Dia menjelaskan, latar belakang Dephan menyusun naskah RUU itu berdasarkan amanat UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, yang antara lain menyatakan, dalam menghadapi ancaman ditempatkan TNI sebagai komponen utama, selanjutnya komponen
cadangan dan pendukung. "Keberadaan komponen pendukung sangat penting, apalagi untuk ke depan," katanya.

Fadjar menguraikan, latihan militer (wamil) untuk warga negara dibagi atas dua bagian, yakni latihan dasar kemiliteran selama 30 hari untuk tahun pertama. Di tahun kedua, diselenggarakan latihan penyegaran, juga selama 30 hari.

Latihan dasar kemiliteran, tuturnya, seperti cara menggunakan senjata, menembak taktis, meluputkan diri dan kawan serta mengelabui musuh.

Biaya latihan selama 30 hari untuk setiap orang dianggarkan dana Rp 30 juta.
"Jadi untuk 30 hari pertama dan kedua setiap orang menghabiskan dana Rp 60 juta. Dana tersebut berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara),"
katanya.

Perincian dana Rp 30 juta itu, antara lain,
empat pasang sepatu, baju dan celana, senjata serta amunisi, makanan, tenaga medis, asuransi kesehatan, obat-obatan serta honor untuk pelatih.
"Yang melatih adalah anggota TNI," tambahnya.

Untuk pasukan cadangan di darat, lanjutnya, dibutuhkan warga negara yang berumur 18 sampai 35 tahun. Untuk pilot dibutuhkan, mereka yang berusia 25 sampai 40 tahun. Untuk nakhoda kapal berusia 40 sampai 45 tahun tahun.
Sedangkan untuk tenaga ahli bisa berumur 30 sampai 60 tahun.

"Untuk pilot, nahkoda jelas kita ambil memang mereka-mereka yang pekerjaannya seperti itu. Kita hanya latih mereka untuk menghadapi situasi perang," jelasnya.


Bukan Adopsi

Menurut Fadjar, konsep tersebut merupakan gagasan Dephan, bukan adopsi darik konsep negara lain. "Konsep kami jelas beda dengan negara lain, seperti AS atau Singapura, karena kondisi kita dengan mereka beda," ujarnya.

Sebelumnya, Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M Patra Zen mengatakan, yang harus dijelaskan Dephan adalah seberapa tinggi ancaman terhadap Indonesia saat ini dan ke depan (Pembaruan 26/2).

"Apakah dalam menghadapi ancaman itu harus dihadapi banyak orang terlatih?
Atau bukankah dengan penguasaan peralatan canggih, seperti pesawat tempur dan alat pendukung lainnya?" kata Patra.

Dia meragukan adanya ancaman dari negara lain untuk Indonesia, dan kalaupun ada ancaman paling efektif dihadapi dengan peralatan tempur yang memadai.
Ketua Majelis Anggota Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Hendardi mengatakan, ide RUU Komponen Cadangan, yang berisi antara lain, wajib militer untuk semua warga negara Indonsia harus ditolak. Sebab, untuk membahas dan membuat UU seperti itu banyak menghabiskan anggaran negara.

Menurut dia, yang membuat masyarakat Indonesia tidak aman sekarang ini adalah karena konflik horizontal dan maraknya peredaran senjata api. [E-8]